Bagaikan
bulan yang elok, tubuh laksana pualam, rumput terurai seperti mayang. Itulah
umpama yang pantas untuk gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang
sederhana di sebuah desa terpencil itu. Semua orang akan mengakuinya saat
memandang gadis itu. Tak henti-hentinya ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya
tak jemu meski gadis nan elok itu terus memandanginya. Namun mereka terbius
kecantikan itulah si gadis ini jadi angkuh dan malas. Ia tak sadar bahwa
keelokan yang dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan
kerendahan hati.
Ibu gadis
ini adalah ibu yang lembut, baik hati dan bijak. Ia dengan sabar menemani gadis
ini. Ia hanya berharap suatu ketika anak gadisnya menyadari betapa keelokan
parasnya tak ada guna apabila hatinya angkuh. Makin sedih juga sang ibu melihat
anaknya yang cantik itu juga pemalas, dan kemauannya harus selalu dituruti
meskipun kadang tidak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha menuruti apa
yang dikehendaki anak gadisnya itu. Di dalam harinya ia berdoa, semoga Tuhan
menolong dia menyadarkan anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk
mengubahnya.
Suatu
hari, seperti biasa gadis itu mengurung dirinya di dalam kamarnya. Ia tak mau
matahari merusak kulitnya. Ia enggan debu-debu mengotori wajahnya. Ia tak suka
orang-orang mencuri kemolekannya.
“Ibu…!” gadis
itu memanggil ibunya dengan suara keras. Sang
ibu tergopoh menghampiri putrinya.
“Bukankah
sudah berulang kali aku bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah menata
kamar ini hingga rapi, menyediakan lulur dan air hangat, dan membuatkan minuman
sari buah untukku…?” katanya keras dan marah.
Ibunya
berusaha sabar, “Bukankah kamu sudah dewasa, anakku. Kau bisa mengerjakan
sendiri semua itu.”
“Ibu
tahu sendiri, aku sedang sibuk,” jawab gadis itu.
Sang
ibu hanya mengelus dada. Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya
itulah yang selalu dilakukan putrinya yang pemalas itu. Suatu
hari, sang ibu mencoba untuk membujuk anaknya agar mulai mengubah tabiat
buruknya.
“Ibu
sudah tua, dan jika ibu dipanggil oleh Tuhan maka Ibu tak khawatir lagi engkau bisa
mengurusi dirimu sendiri,” kata ibunya.
“Aku
tidak minta kamu jadi ibuku,” ketus sang gadis.
Ibu
sungguh sedih mendengarnya. “Baiklah,
Anakku. Ibu hanya memohon agar kamu tidak mengurung diri di rumah. Kenalilah
lingkunganmu agar ibu tenang jika suatu saat dipanggil Tuhan,” ujar itu dengan
penuh kesabaran.
Hari
makin berlalu. Akhirnya sang gadis mau menuruti kehendak ibunya. Ia tidak
keberatan untuk ke mana pun bersama ibunya. Ke kepta, ke toko, ke rumah kerabat
bahkan hingga belanja ke pasar. Tapi anaknya ini mengajukan syarat bahwa ibunya
tak diperbolehkan mengakui di depan umum bahwa ia ibunya. Sebagai seorang ibu
tentulah hatinya teriris mendengar itu.
“Oh
Tuhan, mengapa untuk mengakui aku ibunya saja dia demikian malu? Mengapa anakku
seangkuh itu, ya Tuhan…”
Orang-orang
benar-benar tak percaya kedua perempuan itu adalah ibu dan anaknya. Penampilan
keduanya alangkah berlawanan. Si putri begitu mewah, sementara sang ibu
teramat bersahaja. Bahkan sang ibu yang tua dengan pakaian yang kusam itu
bagaikan seorang pembantu saja layaknya. Apalagi sang putri tak pernah
mengizinkan berada di dekatnya. Jika berjalan, sang ibu harus berada di
belakangnya.
“Apakah
mungkin dia ibunya?”
“Ah
mungkin saja bukan?”
“Tapi…” orang-orang
berbisik-bisik mempergunjingkan hal itu setiap bebrtemu keduanya.
“Bukan!
Dia budakku,” kata gadis itu.
Alangkah
terlukanya sang ibu mendengar itu. Hatinya menangis dan ia benar-benar tak
berdaya menahan sakit hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan.
“Dengan
cara apa engkau menghukum anak yang sombong dan berhati busuk seperti ini ya
Tuhan? Jika dia anak kecil, hambamu pasti mampu memahaminya. Tapi ia sudah
dewasa dan memiliki akal. Sungguh hamba tidak bis amengerti,” rintihnya.
Tuhan
selalu mendengar jeritan hati hambanya. Apapun yang dikehendaki Tuhan pastilah
suatu kebaikan. Maka ketika ia menghukum gadis yang sombong itu, maka Tuhan
pasti berkehendak baik untuk umatnya.
Suatu
haru gadis itu tiba-tiba berubah menjadi batu karena hatinya yang congkak dank
eras. Gadis itu menyadari kesalahannya, tapi terlambat karena hukuman telah
menimpanya. Ia pun hanya bisa menangis. Hingga sekarang, batu itu dikenal
sebagai “Batu Menangis”
No comments:
Post a Comment