Karya : Azti Arlina
Pak
Uban. Begitulah aku menyapanya. Sosok bapak tua yang bersahaja dan berwibawa.
Rambut putihnya tidak memutihkan semangatnya. Semangatnya mampu mengalahkan
usia senjanya. Siapa yang tidak mengenal sosoknya, karena wajah ramahnya selalu
membuat para mahasiswa bertanya bila tak melihatnya sehari di kampus.
Pak
Uban, Bercerita tentang dirinya, berarti telah bercerita tentang sebuah episode
kehidupan yang tak akan pudar. Beliau memang tidak mengajari sebuah ilmu yang
luar biasa. Akan tetapi beliau mengajarkan, bagaimana memanfaatkan ilmu yang
biasa, menjadi sangat luar biasa.
Siang
itu, aku menghukum diriku di bawah terik matahari. Nilai ujian ku tidak
mencapai target. Usahaku yang maksimal tidak membuahkan hasil sama sekali.
Sedih. Seharusnya seperti itu. Namun sesuai perjanjian dengan diriku semalam,
jika tidak mencapai target, aku harus menjemur diriku diterik matahari. Aku pun
duduk berjemur di tengah lapangan belakang kampus. Tanganku tidak
henti-hentinya mencabuti rumput-rumput disekitarku, sebagai pelampiasan.
Kesal. Tidak terasa,, air mataku pun tumpah.
Pada
saat itulah, pak uban datang dengan khas cangkul ditangan kanannya, duduk
disebelahku. Merangkul pundakku, kemudian tersenyum. Untungnya aku segera
menghapus air mata. Tak lama kemudian, Pak uban mengajakku duduk di
pendopoknya.
Pendopok
itu begitu sejuk, ditambah lagi suguhan air dari teko tanah liat. Pendopok itu
tidak terlalu besar, mungkin hanya muat untuk lima orang. Atap dan alasnya
terbuat dari rotan-rotan, menciptakan sebuah suasana baru bagiku. Letak
pendopok itu agak jauh dibelakang gedung kampus. Jika melihat ke belakang
dinding Pendopok ,akan terlihat halte dimana biasanya aku menunggu bis umum sepulang kuliah.
Tak
jauh dari sana , pak uban sedang asik dengan cangkul, pupuk, dan sebuah pohon
kecil yang baru beliau tanam. Aku pun segera menghampirinya
“
Baru ditanam ya Pak…” sapaku ramah.
Pak
Uban tersenyum melihatku, “sudah baikan nak…” tangannya masih sibuk dengan
tanaman barunya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“
dua minggu yang lalu pohon ini bapak tanam.. jadi masih perlu perawatan
khusus..” katanya sambil menyebarkan pupuk, aku pun membantunya
“
Bapak punya hobi berkebun ya pak ?” tanyaku sekedar ingin tau
“
hobi…..?? “ alisnya mengernyit, berfikir.
“semoga bukan sekedar hobi”
pandangan ramahnya menatap mataku.
“
ngomong-ngomong…. Bapak bukan tukang kebun kampus ini kan?" Pak
uban terkekeh mendengar pertanyaan ku
“memang
kenapa Nak?” Tanyanya
“saya
cuma heran Pak.. Bapak tidak berseragam seperti tukang kebun lainnya. Tapi kok
bapak selalu merawat tanaman, tak jarang juga saya melihat bapak menanam pohon
baru di kampus ini” Pak
Uban semakin terbahak dengan penjelasanku.
“saya
salah pak…??? ” tanyaku ragu
Kini
pak uban terbatuk-batuk menahan tawa, kami pun beranjak dan duduk di tepi
pendopok. Tidak lama kemudian…Cerita dari bibirnya mengalir.
“
pohon tadi adalah pohon yang ke-43 yang pernah Bapak tanam nak..” matanya
menerawang,. Menembus pohon kecil yang baru ia pupuki tadi
“
dulu,waktu bapak masih seusia kamu, kira-kira 40 tahun yang lalu,
Bapak memang mempunyai hobi berkebun. Maklum.. di kampung Bapak , daerah Malang
sana , setiap rumah pasti memilki kebun apel. Sampai akhirnya ketika pindah ke
Jakarta , ditambah lagi karena desakan polusi dan udara panas di Jakarta ,
akhirnya Bapak meneruskan hobi tersebut. Pertama kali, Bapak minta izin pada
ketua RT, untuk menanam pohon di perempatan jalan. Beliau setuju. Bapak pun
terus merawat pohon tersebut. Tak terasa lima tahun berlalu, pohon tersebut
menjadi besar dan rindang. Banyak sekali orang yang berteduh dibawahnya. Mulai
dari anak jalanan, tukang-tukang dagangan, sampai mahasiswa dan orang-orang
pulang kerja. Sejak itulah Bapak senang sekali, karena pohon yang bapak tanam
bermanfaat untuk banyak orang. Bahkan bukan hanya manusia yang bisa menggunakan
rindang pohon tersebut, tapi juga ketika bapak perhatikan, ada burung yang
membuat sarangnya di atas pohon itu, serta capung dan kupu-kupu yang
bermain-main”
“
sejak itulah nak… setiap tahun berganti, bapak selalu menyempatkan menanam
sebuah pohon ditempat-tempat strategis yang sering dilewati orang”
“
lho.. kenapa harus ketika tahun berganti Pak?” tanyaku curiga
“
Kenapa ketika tahun berganti ya…??? Entahlah… bapak juga bingung Nak…” matanya
menyipit sambil tersenyum.
“mungkin… sebagai salah satu wujud syukur bapak
juga kepada Allah yang masih memberikan bapak usia” Syukur
? kata tersebut hampir tidak ada di kepalaku. Bahkan aku pun bingung apa yang
harus disyukuri. Sampai tahun berganti hari ini, aku belum pandai bersyukur
atas apa yang aku miliki.
“
lalu setelah bapak menanam… apa yang bapak lakukan? “ tanyaku lanjut
“
setiap tahun berganti.. setiap pohon baru Bapak tanam.. maka setiap itu pula
tercipta semua harapan dan cita-cita baru…yang selalu tertulis dalam buku
ini Pak Uban mengeluarkan sebuah buku saku usang dari kantong bajunya.
Kemudian memperlihatkan tulisan terakhir yang baru kemarin ia tulis.
“ apa yang akan saya lakukan di usia senja ini"
Dibawahnya
pun tertulis berderet rencana setahun kedepan. Salah satu yang tertulis disana
adalah berkumpul dengan cucu. Beliau juga menceritakan alasan kenapa ingin
sekali berkmpul dengan cucu-cucunya di Malang.
“
bagaimana dengan pohon-pohon sebelumnya yang pernah ditanam Pak ? dilupakan
begitu saja ? “ kataku mengalihkan pembicaraan.
“
oh… ya ngga dong Nak,, “ pak Uban tersenyum, dan mengacak-ngacak
rambutku.
“
justru.. pohon-pohon tersebutlah sebagai tempat bapak mengevaluasi diri
nantinya. Setiap tahun berganti, maka Bapak pasti akan ke pohon–pohon tersebut.
Mengevaluasi diri. Apa yang sudah bapak lakukan tahun-tahun kemarin ?
setiap pohon ada pelajaran dan hikmah yang selalu mengingatkan Bapak” katanya
tersenyum.
Merencanakan
hidup… Mengevaluasi diri…. aku hampir tidak pernah melakukan hal tersebut sama
sekali. Bahkan memasuki tahun 2007 ini pun, semua seperti hari-hari lainnya.
Mengalir begitu saja. Lebih tepatnya hampir sia-sia. Hufh.. betapa malunya aku
jika seandaninya Pak Uban tau kodisiku sebenarnya.
“kamu
lihat pohon besar di ujung sana Nak…” Pak Uban menunjuk sebuah Pohon disamping
kafe
“ itu Bapak tanam sekitar sepuluh tahun yang lalu… ketika pertama kali
Bapak tinggal di kampus ini”. Ya, Pohon itu adalah tempat mahasiswa
biasanya pada nge-riung untuk makan, atau sekedar ngadem di bawahnya.
“kemudian
lihat pohon disana, terus yang itu… sebelahnya lagi…” Pak Uban terus bercerita
tentang hobinya itu, dan kebahagiaan yang ia dapatkan ketika bisa memberikan
manfaat kepada orang lain.
“
Nah… sekarang gantian kamu yang bercerita Nak,, Bapak siap
mendengarkannya”
“
Kamu ada masalah nak.. barang kali Bapak bisa membantu…” aku menggeleng,
tersenyum. Dan terdiam agak lama.
Matahari
senja mulai menyapa, semilir angin ramah menyentuh wajah. Sungguh ini adalah
suasana yang seharusnya bisa menyejukkan hati, namun ujian pagi tadi,
ternyata masih memenuhi pikiran ini.
“
Pak.. “ aku angkat bicara. “ apa bapak pernah menanam sebuah pohon dan
merawatnya, tetapi ternyata pohon itu tidak membuahkan hasil…anggaplah
pohon itu ternyata mati.”
Pak
Uban manggut-manggut dan tersenyum.
“
pasti pernah nak.. semua orang pasti pernah merasakan kegagalan…memang kenapa
?” Aku
terdiam agak lama, menunduk, dan menarik nafas panjang.
“
saya gagal Pak.. saya gagal ujian hari ini. Padahal ini adalah UAS. Seminggu
kemarin saya sudah mengerahkan semua waktu dan energi saya, tapi ternyata pagi
tadi… siapa sangka soalnya akan seperti itu. Entah kenapa… saya blank ga bisa
mengisi apa-apa…” suaraku tersekat.. hampir menangis.
“
itulah sebabnya mengapa saya menjemur diri ini siang tadi. Saya benci Pak..
saya benci dengan diri saya yang teramat bodoh… !” pandanganku menunduk, tangan
ini terkepal begitu kuat, dan tanpa terasa.. sebutir air mata jatuh tepat
diatas pahaku.
“saya…..putus
asa Pak….” lanjutku melemah.
“
Nak.. “ tangan Pak Uban merangkul pundakku, matanya seakan mencari tau tentang
diriku
“
kamu yakin sudah sangat giat belajar saat itu…?” aku mengangguk yakin. Kemudian
tertunduk kembali.
“
baiklah, bagus kalau begitu…karena esensi dari sebuah kemenangan itu.. bukan
terletak pada hasilnya.. tapi pada prosesnya. Allah tau dan melihat bagaimana
usaha kamu kemarin, ga usah khawatir” Pak Uban memukul-mukul pundakku.
“
kegagalan merupakan niscaya dalam kehidupan ini. Coba sekali-kali kamu tanyakan
pada orang sukses, kenapa mereka bisa sukses… itu karena mereka selalu bangkit
dari kegagalan…Adakah orang sukses yang belum pernah gagal? “
“
karena ibaratnya seperti bola, agar bisa terlempar tinggi, maka harus
dihantamkan sekuat mungkin ke bumi, iya kan …” aku mengangguk lemah,
membenarkan.
“
karena itu Nak.. anggaplah kegagalan kamu hari ini adalah sebuah hantaman yang
akan mengajakmu mencapai puncak nantinya.. maka janganlah lari dari semua
ini…karena berarti kamu telah lari dari kesuksesan nanti…” tatapan mata pak
Uban seakan meyakinkanku
“
kamu tau Nak… jika bapak mengikuti kata putus asa.. mungkin pohon di samping
kafe itu tidak akan sebesar sekarang ini….dimana semua mahasiswa senang belajar
dibawah rimbunnya..”
“
itu tandanya.. untuk hal yang sederhana pun -hanya untuk menanam sebuah pohon-
butuh usaha dan kesabaran…”
“
apalagi untuk sebuah cita-cita besar seperti kamu Nak…”
“
semua butuh proses… maka janganlah pernah berhenti …”
“
karena kamu tidak akan pernah melihat masa depan..jika kamu tidak menanam
hari ini. Aku
menatap dalam mata Pak Uban.. semangat dan harapan ada didalamnya.Pak Uban
mengangguk, meyakinkanku, aku tersenyum, seketika itu Pak Uban langsung
mengacak rambut dan menjabat tanganku erat… sebuah jabatan yang membuatku
rindu dengan ayah di kampung sana.
***
“Pak
yang sudah selesai bagaimana? “ suara Silvy, mahasiswa paling cerewet di kelas
mengaburkan lamunanku.
“
oh ya, waktunya sudah habis ya.. kuis hari ini selesai. Silahkan dikumpulkan”.
Setelah
semua mahasiswa mengumpulkan lembar kuis, mereka merapihkan meja lipat dan
barang-barangnya. Beberapa mahasiswa lelaki mengambil tasnya yang di gantungkan
di ranting-ranting pohon. Sementara Sinta, mahasiswa paling rajin dikelas,
sibuk memunguti sampah-sampah kertas di sekitar pohon.
“sebelum
ditutup ada yang mau ditanyakan? “ tanyaku sebelum menutup kuliah hari itu.
“
Saya Pak, tapi ga berkaitan dengan mata kuliah…” kata Silvy dengan antusias.
“
yah..ngga apa-apa.. yang penting pertanyaannya tidak macam-macam..”
“
mmm…… kenapa siy… Bapak suka ngajakin kita untuk kuliah di bawah pohon rindang
seperti hari ini….” Tanya silvy dengan nada centil. Sementara mahasiswa lain
gaduh menyorakinya.
Aku
tersenyum. Pertanyaan yang bagus menurutku. Meskipun seratus kali pertanyaan
tersebut terlontar, bibir ini tidak akan pernah lelah bercerita. Sebuah kisah
yang telah mengantarkan ku menjadi dosen seperti sekarang ini. Satu panen
yang pernah ku tanam di masa lalu.
No comments:
Post a Comment